Old But Worth, Harry Potter
Kalau ada pertanyaan drama atau film apa yang kamu bisa tonton berkali-kali tanpa bosan, saya antara bingung jawabnya atau justru sudah tahu mau jawab apa.
Pasalnya, untuk drama-drama Korea, saya nggak pernah nonton ulang meski sesuka apapun pada drama itu. Nonton kedua kali itu rasanya seperti buang-buang waktu karena masih banyak banget puluhan bahkan ratusan drama lain yang juga antre untuk ditonton.
Berlaku juga buat non drama Korea, ya. Serial barat yang justru bisa panjang banget berseason-season ini malah nggak selera kalau mesti ditonton ulang.
Pengecualian ketika mereview, biasanya saya fast forward bagian-bagian yang saya ingin highlight atau mengingat-ingat adegannya. Tetep nggak pake nonton ulang ya. Bahkan saat lanjut nonton season 2 suatu drama, biarpun lupa-lupa saya tetap nggak mau ngulang nonton season 1 nya lagi.
Alasan lain karena kecepatan menonton saya kaya siput. Marathon drama 16 episode setidaknya butuh 3-4 harian demi biar nggak meriang setelahnya. Kalau nonton ulang yang sudah pernah ditonton ya beneran males aja gitu.
Drama No, Movie Yes
Nah, kalau untuk film mungkin lain lagi.
Karena film durasinya paling lama hanya 2 jam (atau di beberapa film sampai hampir 3 jam), saya masih oke kalau menonton ulang film-film favorit.
Ah, nggak selalu favorit sih.
Buktinya kita selalu menonton ulang film Warkop DKI saat lebaran dan Home Alone saat libur Natalan, kan? Aahahaha…
Zuzur saja kalau memang tanpa ada embel-embel favorit atau preferensi tertentu, dua film ini bakalan jadi jawaban default orang-orang yang familiar dengan televisi di waktu remajanya.
Gimana sampai sekarang kita masih ingat adegan-adegan absurd di film C.H.I.P.S saat Dono jadi polisi, atau saat dia pura-pura jadi Robert Davis Chaniago.
Juga kita tidak lupa bagaimana cara si Kevin McAllister ngerjain dua orang yang akan merampok rumahnya. Menyalakan tv kenceng-kenceng, bikin bayangan orang hilir mudik di dalam rumah, dan betapa konyolnya para perampok yang berkali-kali benjut di hamparan salju.
See? Belasan tahun berlalu tapi adegan-adegan ini masih membekas dalam ingatan, bahkan masih bisa menceritakannya kembali, ya? Hahaha.
Tapi gengsi dong kalau jawabnya Home Alone dan Warkop DKI, kok kaya gak keren amat gitu. Ya karena bukan favorit juga mungkin. Kita menonton ulang mereka tanpa sadar. Adanya itu di tv ya itulah yang ditonton. Apalagi belum ada alternatif platform menonton lain kan kala itu?
Yang Favorit, Yang Ditunggu
Kembali lagi. Ketika harus menyebut film yang nggak bosan untuk ditonton berulang-ulang, saya akan jawab salah satunya adalah, Harry Potter -- semua seri dan sidekick-nya.
Berapa kali pun Harry Potter diputar di televisi lokal atau HBO, terutama kalau musim liburan, saya udah pasti tetap menonton ulang. Nggak ada bosennya, padahal udah tahu ceritanya.
Engagement saya dengan Harry Potter dimulai dari buku pertama yang saya belain fotokopi karena hanya punya waktu sewa seminggu dari Taman Bacaan.
Saat akhirnya divisualisasikan ke dalam film, saya yang nggak punya ekspektasi apa-apa ya senang-senang aja melihat imajinasi remaja saya jadi nyata.
Kenapa Harry Potter banyak digemari?
Ide cerita Harry Potter padahal simpel saja. Tentang seorang anak yatim piatu malang, tinggal di rumah paman yang memperlakukannya dengan tidak adil. Hingga tiba-tiba keajaiban datang, ia mengetahui fakta lain bahwa dirinya terdaftar di sekolah sihir di mana namanya sangat famous di dunia itu.
Bagi pembaca (atau penonton) Harry Potter yang berniche remaja, ide seperti ini jelas aja menyenangkan. Kita tahu ya, kalau masa remaja ini seringkali merasa krisis identitas. Aku tuh gimana, aku sebenarnya suka apa, apa kelebihanku, apa kekuranganku, dan sebagainya.
Beberapa remaja mungkin merasa nasibnya senelangsa Harry Potter. Merasa dikucilkan dari lingkungan, kesulitan punya teman, atau merasa keluarganya pilih kasih sehingga hatinya berontak, menginginkan kehidupan lain yang berbeda dengan realita.
Wajar, gejolak kawula muda.
Hingga kehidupan Harry yang berubah sedemikian rupa dari menyedihkan di dunia nyata hingga kepopuleran di dunia magic, dianggap mewakili keinginan para remaja yang merasa “duh asik banget kali ya hidupnya banyak temannya, banyak yang merhatikan..”
Kendati begitu, kehidupan Harry setelah full time di dunia magic juga kan nggak utopis utopis amat. Tetep aja pada akhirnya dia harus menghadapi persoalan-persoalan hidup yang mungkin tambah rumit karena harus ngapalin mantra segala kalau mau punya power. Belum lagi dunia magic bukan dunia immortal, kematian dan kehilangan tetap tidak bisa dihindari.
Jika pembaca Harry Potter kebanyakan di usia remaja, maka penonton filmnya ada di range usia yang lebih lebar. Tidak hanya remaja, tapi juga dewasa alias kita semua senang melihat visualisasi fantasi karena seolah lepas sejenak dari kenyataan hidup.
Harry Potter Paling Favorit
Untuk cerita yang paling saya sukai ada di buku ke-4 yang berjudul Harry Potter and Goblet of Fire, di mana di dalamnya terdapat momen Turnamen Triwizard.
Di fase ini, Harry memang bukan lagi anak-anak polos melainkan remaja yang sudah mengenal kompetisi, musuh, dan cinta.
Turnamen Triwizard merupakan kontes sihir paling tua dan bergengsi yang diikuti tiga sekolah sihir ternama di Eropa: Durmstrang Institute dari Bulgaria, Beauxbaton Academy of Magic dari Prancis, dan Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry dari Inggris.
Setiap sekolah mengirimkan satu perwakilannya untuk berkompetisi jadi penyihir juara yang mendapatkan Piala Triwizard. Menjadi perwakilan sekolah artinya siap menghadapi kematian. Tantangan-tantangan dalam Turnamen Triwizard sendiri terkenal berbahaya dan mematikan, sehingga kriteria juaranya adalah kemampuan sihir, kepintaran, dan keberanian.
Khusus Turnamen Triwizard tahun 1994, kontestannya tidak hanya tiga, tapi empat. Karena seseorang telah memodifikasi goblet of fire sehingga memunculkan nama Harry Potter sebagai kontestan keempat selain Viktor Krum, Fleur Delacour, dan Cedric Diggory.
Karena keputusan piala api mengikat. Kontestan yang namanya muncul tidak bisa mundur. Harry yang merupakan murid paling junior di antara keempatnya mau nggak mau harus tetap maju tandang ke gelanggang.
Tugas pertama dalam Turnamen Triwizard adalah menaklukan naga-naga yang dikenal tidak mudah tunduk pada manusia. Di sini, Harry kebagian menangani Hungarian Horntail dan menaklukannya dengan metode menungganginya dengan bantuan Firebolt (sapu terbang milik Harry yang paling canggih saat itu).
Tugas kedua, mereka harus memecahkan kode di bawah air dan menyelamatkan sandera yang ditahan oleh para peri air. Lagi-lagi Harry mendapat poin terbesar karena menyelamatkan dua sandera dengan mengonsumsi gillyweed yang membuatnya lebih lama bertahan di dalam air.
Tugas ketiga dan paling berbahaya, hanya tinggal tersisa tiga kontestan yang berlomba melewati labirin menuju Piala Triwizard yang ditempatkan di lokasi tidak diketahui. Labirin yang mengerikan dan penuh mantra itu bisa jadi tempat kematian siapa saja yang berada di dalamnya.
Rupanya piala Triwizard telah dimantrai oleh seseorang sehingga saat Harry menyentuhnya, dia berapparate ke suatu tempat, menyaksikan kejadian yang tidak bisa dia lupakan sampai bertahun-tahun kemudian.
Adegan Favorit di Harry Potter
Always, pertandingan Quidditch.
Kita sama kalo ttg Drakor mba, aku juga ga pernah nonton sampe berkali2, sesuka apapun dengan dramanya. Krn ngabisin waktu. Sementara list to be watched yg aku punya msh ratusan 🤣🤣.
Tapi aku pun bingung kalo bicara movie 😂. Kayaknya memang home alone sih, sampe aku datangin pohon natal tempat Kevin kabur di New york, dan central park + hotel tempat dia nginep , awal Januari kemarin 🤣. Saking sukanya sih.
Harry Potter aku suka, tapi suka novelnya 😄😄. Kalo novelnya aku udh baca 3x. Tapi film cukup sekali 😁. Mungkin Krn aku LBH suka baca juga kali yaa.