Refleksi Curhatan Ibu Kartini
Memaknai Kemerdekaan bagi Perempuan : Sebatas konflik ibu bekerja vs di rumah?
Konflik ini tentunya menimbulkan rasa tak nyaman, rasa tidak nyaman yang menuntut ditenangkan. Beberapa dari kita, para ibu, secara sadar maupun tidak memilih menenangkan diri dengan menyerang. Memilih menyoroti perbedaan pilihan dan menghakiminya.
Bagi saya, sama sekali tidak ada kontradiksi dalam pilihan tersebut, karena kemerdekaan itu bukan soal keputusan akhir, tetapi tentang terbukanya pintu untuk menentukan pilihan. Ibu yang merdeka itu adalah ibu yang diberikan ruang untuk membuat pilihan secara sadar dan nyaman atas jalan hidupnya sebagai perempuan. Kesadaran itu juga termasuk berdamai dengan kenyataan bahwa pilihan kitapun tak lepas dari “dikte”sosial.
Karenanya mengakhiri perang ini tidak cukup dengan berkata bahwa sudahlah tidak perlu didengarkan, tetapi justru dengan saling mendengarkan. Untuk mengakhiri ini kita butuh kebijakan sosial yang lebih ramah perempuan, lebih ramah keluarga (ijin untuk menemani anak yang sakit, child care yang berkualitas dan terjangkau, ruang menyusui, hari keluarga dimana anak boleh dibawa serta ke kantor dsb) ini bukan hanya masalah satu keluarga, ini adalah masalah banyak keluarga kecil perkotaan yang jauh dari dukungan keluarga besar.
Kesetaraan gender jangan hanya diterjemahkan dalam bentuk partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, tetapi lebih jauh lagi bahwa beban ganda perempuan modern harus diakui dan didukung pelaksanaanya. Kita harus berjuang bersama, untuk sesama perempuan. Tapi sampai hal tersebut terwujud, mari kita saling kembangkan sikap empati terhadap pilihan orang lain, mengurangi menghakimi diri sendiri dan tentunya berujung mengurangi menghakimi orang lain.
Tidak ada pilihan yang lebih baik diantara keduanya, karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa pasti ada yang dikorban. Alih-alih saling menyerang mungkin baiknya kita bisa mulai dengan berbesar hati menerima kenyataan bahwa tak satupun dari kita punya kunci rahasia untuk menjadi ibu yang sempurna. Kita ada dalam perjalanan menjadi ibu ini bersama-sama, maka baiknya kita saling menopang perjuangan masing-masing dalam pencarian kemerdekaan untuk menjadi siapa diri kita, sebagai perempuan, sebagai ibu.
Hal ini pun diungkap Kartini dalam suratnya kepada Prof Anton beserta istrinya, yang ditulis pada 4 Oktober 1902.
"Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini."
"Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama," tulis Kartini.
Kartini meyakini kaum perempuanlah yang pertama kali memikul kewajiban sebagai pendidik. Seorang perempuan akan menjadi seorang ibu yang akan menjadi pusat kehidupan rumah tangga.
Seorang ibu, menurut Kartini, dibebankan tugas besar untuk mendidik anak-anaknya dan membentuk budi pekertinya.
Dengan demikian, anak perempuan harus mengenyam pendidikan yang baik pula agar kelak bisa menjalani tugas dalam mendidik anak-anaknya.
Dia menyadari betul bahwa mendidik bukan hanya sekadar membuat seseorang menjadi pintar.
Oleh karena itu, kemajuan peradaban akan bisa berjalan dengan cepat apabila seorang perempuan, yang kelak menjadi seorang ibu, memiliki kemampuan mendidik anak-anaknya dengan baik.
"Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula. Sedangkan anak-anak laki-laki kelak pasti akan menjadi penjaga kepentingan bangsanya," ujar Kartini.