Ines Setiawan: Ibu Berdaya untuk Kehidupan yang Berkelanjutan
Untuk teman-teman yang banyak menaruh perhatian pada topik-topik sustainability pasti kenal dengan Ines Setiawan. Founder Sustainable Hyper-platform for Indonesian Network of Educators (SHINE) ini jadi salah satu narasumber dalam Konferensi Ibu Pembaharu pada tanggal 17 Desember 2021.
Saya sering lihat kiprah Bu Ines dan kawan-kawan seliweran di beranda Facebook. Kelas membuat keju, membuat sosis, mengolah pangan dari porang, dan banyak lagi. Maka dari itu senang banget bisa menyimak ceritanya di talkshow KIP dan ingin juga membagikan insight dari Bu Ines ke pembaca di sini.
live dari Conference Hall KIP |
Ibu Berdaya, Ibu Berkarya: Lingkungan&Kehidupan yang Berkelanjutan
Latar belakang Bu Ines mendirikan SHINE tahun 2014 adalah selain karena ketertarikannya pada sains, beliau juga punya idealisme tentang pendidikan yang terjangkau. Lewat SHINE, harapannya dapat mengedukasi cara-cara hidup berkelanjutan yang aplikatif untuk pemberdayaan masyarakat.
Ragam materi yang diselenggarakan SHINE juga semakin banyak, mulai dari kelas produk susu, sabun, coklat, awetan buah, jamur, hingga bioplastik, juga kelas peningkatan kapasitas seperti kewirausahaan dan literasi keuangan, serta berbagai ekskursi/kunjungan lapangan.
Kesemuanya, merupakan wujud dari tahapan belajar yang dimulai dari mampu melihat masalah, kemudian memberdayakan diri, lalu berkarya dan menjadi bagian dari solusi, dan akhirnya juga bisa memberdayakan orang lain.
Simpel saja, seperti contohnya kelas membuat awetan buah atau selai. Dengan ini para ibu dapat mengurangi jejak karbon di rumah, memenuhi kebutuhan gizi keluarga sekaligus menyelesaikan permasalahan limbah makanan (memanfaatkan buah-buahan yang tidak terjual di pasar). Membuat sabun minyak jelantah, misalnya, selain mengurangi limbah juga dapat menjadi sumber pemasukan bagi keluarga, dan lain sebagainya.
Saat sudah ada di tahap pemberdayaan masyarakat, banyak yang kemudian mengembangkan bisnis berbekal keahlian yang diperoleh dari kelas. Para peserta yang telah ahli juga difasilitasi untuk menjadi pengajar SHINE, dan dapat menyelenggarakan kelas-kelas baru di daerah masing-masing.
Dari SHINE ke Sustainability Scool.
Ternyata, sekarang SHINE sedang bertransformasi jadi Sustainability Scool. Bu Ines ingin mengembangkan apa yang telah dimulai dengan lebih holistik (menyeluruh), tidak hanya tujuan pendidikan yang terwadahi.
Sustainability Scool mengidentifikasi 10 permasalahan yang ada di masyarakat: makanan/pangan, energi, sampah&limbah (waste), kesehatan mental&fisik, perubahan iklim, keragaman hayati, keuangan, kemiskinan, dan perdamaian.
Nah, dari kesepuluh problematika sosial ini, Sustainability Scool ingin menjadi bagian dari solusinya. Alih-alih mengajak para pendidik untuk memiliki skill sampingan, ternyata peminat topik-topik ini justru lebih besar dari kalangan ibu-ibu. Maka, Bu Ines mengedepankan topik pangan atau makanan pada urutan pertama, dengan alasan bahwa ibu juga sebagai pendidik keluarganya, urusan dapur jadi urusan ibu, belum lagi ibu juga banyak yang menjadi pencari nafkah keluarga.
Jadi idenya, kelas-kelas yang diadakan di SS bertujuan untuk menghemat pengeluaran belanja rumah tangga sekaligus pembelajaran juga buat anak-anaknya di rumah. Harapannya, nanti jika ibu sudah berdaya, dia bisa memberdayakan ibu-ibu lainnya. Kalaupun percobaan pangan ini tidak dikomersilkan, setidaknya bisa dikonsumsi oleh keluarga sendiri.
Tentu saja isu ini lebih seksi buat ibu-ibu ketimbang isu perubahan iklim yang mungkin terlalu jauh buat ibu-ibu yang sudah banyak beban pikiran. Jadi ambil topik konkret yang paling sederhana, dengan biaya seminimal mungkin, dan feasible dilakukan dalam skala rumah tangga dulu. Terbukti, sudah banyak ibu-ibu yang kini sukses jadi pengusaha rumahan.
6 bulan rehat dari SHINE, Bu Ines membenahi idealismenya yang semula fokus ke ekonomi, menjadi lebih sustainable dan holistik lewat Sustainability Scoool.
Ada yang menarik nih, prinsip Bu Ines dalam mengadakan kelas-kelas edukasi ini. Bahwa beliau tetap mengenakan biaya belajar, di mana 80% biaya operasional tersebut akan dialokasikan untuk tenaga pendidik/pengajarnya. Beliau memilih mereduksi biaya-biaya yang tidak esensial seperti konsumsi, goodie bag, sewa gedung, dll supaya tetap terjangkau masyarakat dan meningkatkan kualitas para pengajar karena dibayar dengan layak sesuai ilmunya.
Benar juga, sih. Karena kalau kelasnya gratis, orang sering menggampangkan dan tidak komitmen belajar. Setidaknya kalau ada biaya yang dibayarkan, lebih bisa diminta komitmennya.
Mulai dari Yang Ada di Sekitar Kita
Pada dasarnya, Bu Ines mendorong kita melakukan sesuatu dari sumber daya sekitar yang paling dekat. Selain menghemat, kita mencegah kesia-siaan lingkungan padahal alam sudah menyediakan semuanya untuk diolah dan dikelola.
Ini pemikiran yang indah banget yang dihadirkan oleh Bu Ines. Saya sendiri pernah ikut kelas pengawetan buah dan ini sangat bermanfaat di kala jumlah buah lokal melimpah dan kita nggak bisa langsung menghabiskannya dalam waktu yang pendek.
Inovasi, bagi Bu Ines itu adalah solusi dari permasalahan. Inovasi biasanya berasal dari kesusahan yang dialami. Nggak perlu jadi sesuatu yang baru dan extraordinary baru disebut inovasi. Nothing new under the sun, jadi santai saja... Ibu-ibu biasanya justru punya inovasi-inovasi hebat yang memudahkan hidup tapi hanya karena nggak booming aja.
So, buat ibu-ibu pembaca sekalian, bersemangatlah. Banyak yang bisa kita lakukan untuk kehidupan ini. Kita dapat kesempatan untuk menemukan masalah, kemudian berempati pada masalah tersebut, lalu beusaha menjadi bagian dari solusi masalah tersebut. Dengan begini, tujuan penciptaan manusia di Bumi mencapai goal-nya, ya, kan? :)