Homeschooling atau Sekolah Formal?
Sudah pertengahan bulan Maret ini ya, biasanya buat orangtua yang mau masukkin anaknya ke SD sudah disibukkan sama proses Penerimaan Murid Baru. Beberapa malah sudah dimulai dari awal tahun kemarin, ada yang sedang menunggu pengumuman tes seleksi, ada yang udah mulai bayar cicilan, ada juga yang masih ngintipin sekolah-sekolah inceran lainnya.
Anak tengah saya yang juga masuk SD tahun ini, sudah beres administrasi dari akhir tahun lalu malahan :D emaknya lega deh, tinggal mikir urusan mudik aja, hehe
Ibu-ibu, bapak-bapak, adakah hari ini yang masih galau...anaknya masukin sekolah formal atau homeschooling? Sebaiknya, segeralah membuat keputusan. Beberapa sekolah swasta mungkin sudah banyak yang tutup pendaftaran, sedangkan sekolah negeri sebentar lagi akan buka pendaftaran.
Sekadar membantu pertimbangan ibu-bapak, sejauh mengenal dunia persekolahan yang masih piyik ini, saya mencatat 4 perbedaan dasar tentang sekolah formal dan HS. Saya menghindari penggunaan kata "versus" yaa, karena seringnya dipahami sebagai pertentangan atau berlawanan...apalagi ujungnya bisa meruncing jadi moms-war seperti yang sudah-sudah.
Keduanya memiliki tujuan yang sama : edukasi alias pendidikan anak. Jelas, nggak perlu didebat ya.
Sedangkan, empat hal yang jadi perbedaan mendasar tersebut, yaitu:
1. Waktu dan Materi
Sekolah formal, waktu pembelajaran sudah ditetapkan menyesuaikan dengan kurikulum. Materi anu sekian jam pembelajaran. Begitupula dengan rutinitas setiap harinya. 7-12, 7-15 atau bahkan full day school. Pola seperti ini sangat memungkinkan muncul kejenuhan atau ketidaksiapan anak dalam menerima materi. Kelebihannya, anak terbiasa berdisiplin dan teratur dalam waktu.
HS, waktu menjadi fleksibel menyesuaikan dengan waktu keluarga. Orangtua sebagai fasilitator (bukan guru) menyusun jadwal belajar yang lebih ramah dengan karakter anak. Bahkan, untuk tipe keluarga HS natural, waktu belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Biasanya cocok untuk orangtua yang bekerja fleksibel, atau salah satu orangtua ada di rumah.
Sekolah formal, akan memberikan input materi sesuai standar pendidikan pemerintah (KTSP, K-13, dan semacamnya). Anak belajar mengikuti materi yang sudah dibuat dengan standar kompetensi umum. Beberapa sekolah yang lebih khusus, semisal SDIT atau MI, memberikan muatan materi yang lebih spesifik misalnya tahfidz, bahasa arab, fiqih, dll.
Kalau tidak salah, K-13 mematok ada 7 mata pelajaran untuk SD/MI. Sedangkan sisanya, berupa muatan lokal dan mata pelajaran khusus lainnya. Untuk baca-baca, silakan download file Kurikulum 2013 ini.
HS, kurikulum belajarnya customized. Menyesuaikan dengan kebutuhan misi keluarga dan kecenderungan anak. Idealnya, keluarga sudah punya misi spesifik anaknya diarahkan ke mana, tujuannya apa. Sehingga dalam menyusun kurikulum belajar HS, lebih fokus untuk mencapai tujuan.
Perlu diketahui, HS sendiripun memiliki tafsir yang berbeda bagi setiap orangtua. HS lembaga, sejatinya memindahkan kurikulum sekolah untuk dikerjakan di rumah, dan ada sesi tatap muka selama beberapa jam per minggu. Contoh HS lembaga saat ini adalah, Homeschooling Primagama atau Homeschooling Kak Seto.
Sedangkan pada bentuk yang lain, HS dijalankan murni oleh keluarga dengan nilai-nilai yang dianutnya.
2. Kehidupan Sosial
Karena mengenal dan sering bergaul dengan teman-teman orangtua yang berHS, saya pribadi hampir tidak melihat perbedaan sosialisasi anak-anak HS dan sekolah formal.
Untuk seumuran anak sekolah dasar, orangtua dan keluarga masih jadi pusat media pergaulannya. Pengaruhnya masih lebih besar ketimbang pihak luar. Untuk itu usia SD memang yang paling tepat untuk memasukkan nilai-nilai, mengembangkan akal budi dan menguatkan karakter anak.
Kembali lagi, semua tergantung individu si anak. Karena ada anak yang memang karakternya mudah bergaul, ada juga yang biasa saja.
Jangan khawatir anak HS akan jadi kuper. Saat ini sudah banyak orangtua yang menjalankan artinya bisa menggalang komunitas yang memiliki praktik pendidikan yang sama. Sesama orangtua bisa jadi support system, anak-anaknya pun bisa bergaul untuk membuat project bersama atau berbagi ilmu.
Beberapa hal anak HS memang lebih banyak sendiri, terutama yang berhubungan dengan kepeminatannya. Oleh karena itu, anak HS disebut pembelajar mandiri.
Untuk anak yang bersekolah, risiko yang paling ditakutkan orangtua adalah pengaruh dari lingkungan luar. Berapa banyak sering terjadi, anak membawa kosakata baru yang aneh bin ajaib ke dalam rumah sepulang sekolah. Di sini, orangtua punya peran besar untuk membentengi anak dan menguatkan pribadinya sebagai orang yang berpendirian kuat, tidak mudah terbawa arus dan konsisten pada hal-hal baik meskipun lingkungannya keruh.
Bagi saya, baik orangtua yang berHS ataupun bersekolah, keduanya harus bersinergi. Karena kelak anak-anak kita akan menghadapi tantangan masa depan yang sama, kolam yang sama, generasi yang sama. It takes a village to raise a child. Kita juga bertanggung jawab atas muatan kebaikan pada selain anak kita. Bersama-sama membangun peradaban yang lebih baik untuk anak kita semua.
3. Biaya
Ini relatif. HS bisa lebih murah karena tidak perlu membayar biaya pembangunan, uang pangkal, seragam, SPP setiap bulan, plus additional costs lainnya sebagaimana bersekolah formal. Namun sekolahpun tidak semuanya mahal, maka bisa saja HS (dengan beberapa varian modelnya) yang memerlukan biaya lebih banyak.
Alat peraga dan media belajar, seperti teropong, mikroskop, peralatan lab untuk belajar sains tersedia di sekolah untuk dipakai bersama. Begitupun kegiatan camp, project besar, kompetisi atau ekskul yang memerlukan dana penelitian atau biaya besar, lebih mudah didapat melalui sekolah.
Adapun untuk pendukung belajar secara umum, akses internet, buku-buku bergizi, dan kesempatan untuk belajar di dunia nyata bagi saya ini wajib untuk orangtua HS ataupun sekolah formal. Biaya ini, masuk ke dalam pos kebutuhan primer keluarga. Pergi ke sekolah atau tidak, proses belajar tidak boleh berhenti dilakukan.
4. Jalur Pendidikan
Sekolah Formal, jenjang pendidikannya sudah terstruktur. Ijazah dan kompetensinya memang designed by industry. Untuk membedakan keunggulan dari yang lain, siswa sekolah formal haruslah memiliki kompetensi lain dari pada umumnya. Lebih baik lagi, di samping sekolah, ia harus sudah memiliki fokus pada yang ingin didalami.
HS, sampai saat ini masih bercabang menjadi dua jalur. Non ijazah dan berijazah. Jika menginginkan lembar kesetaraan seperti bersekolah formal, maka ikut jalur kesetaraan lewat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Ikuti ujian Kejar Paket A, B, C untuk mendapatkan ijazah. Atau, praktik yang belum umum adalah mengikuti sekolah payung, yang sebetulnya lebih aman posisinya tetapi tidak lazim dilakukan (silakan baca mengenai sekolah payung di referensi homeschooling ya).
Sedangkan jalur non-ijazah, fokus pada keterampilan dan pengembangan minat bakat yang tidak mengejar lembaran akademik melainkan spesialisasi. Bagi yang menempuh jalur ini, kompetensi anak ada pada skillnya. Ia tidak perlu berkompetisi dengan para generalis lainnya.
--------
Jika ada yang bertanya mana yang lebih baik. Saya kembalikan pada kebijakan orangtua masing-masing memilih jalur apa. Siap menjalani yang mana. Tak pernah ada keputusan tak berisiko. Sebaiknya, orangtua juga mendiskusikan hal ini dengan anak. Suatu saat mungkin dia menanyakan kenapa teman-temannya pergi ke sekolah, sedangkan dia tidak. Atau sebaliknya, kenapa tetangganya ada di rumah terus selama jam sekolah.
Homeschooling mungkin awalnya terasa berat, karena kita melakukan semuanya hanya sendiri bersama anak. Tapi yakinlah kalau anaknya "jadi", pasti puas dan bangga banget menuai hasil didikan kita sendiri.
Adapun bersekolah, kita memang harus legowo ada intervensi dari pihak lain atas pendidikan anak kita. Namun selalu ada harapan untuk bersama-sama membangun peradaban lebih baik.
Untuk referensi homeschooling, baik kurikulum ataupun aktivitas belajarnya, sudah banyak bertebaran di internet, lokal maupun situs luar. Ada Rumah Inspirasi, CMIndonesia, IndonesiaMontessori atau kini sudah bisa berserikat dan berkumpul bersama sesama praktisi dalam Perkumpulan Homeschooler Indonesia.
Bagi yang oldskool kaya saya, memilih jalur formal, jangan terlena cukup puas dengan belajar di sekolah saja. Bonding dengan keluarga di rumah tetap penting. Kita tahu bahwa pelajaran akademik tidak sepenuhnya mengcover kebutuhan anak di kehidupan nyata. Bekali anak dengan modal kompetensi masa depan, karena dia tidak hidup di zaman kita. Terbukalah dengan semua kondisi belajar, dengan begitu kita menjadi orangtua yang paham perkembangan zaman.
Homeschooling mungkin awalnya terasa berat, karena kita melakukan semuanya hanya sendiri bersama anak. Tapi yakinlah kalau anaknya "jadi", pasti puas dan bangga banget menuai hasil didikan kita sendiri.
Adapun bersekolah, kita memang harus legowo ada intervensi dari pihak lain atas pendidikan anak kita. Namun selalu ada harapan untuk bersama-sama membangun peradaban lebih baik.
Untuk referensi homeschooling, baik kurikulum ataupun aktivitas belajarnya, sudah banyak bertebaran di internet, lokal maupun situs luar. Ada Rumah Inspirasi, CMIndonesia, IndonesiaMontessori atau kini sudah bisa berserikat dan berkumpul bersama sesama praktisi dalam Perkumpulan Homeschooler Indonesia.
Bagi yang oldskool kaya saya, memilih jalur formal, jangan terlena cukup puas dengan belajar di sekolah saja. Bonding dengan keluarga di rumah tetap penting. Kita tahu bahwa pelajaran akademik tidak sepenuhnya mengcover kebutuhan anak di kehidupan nyata. Bekali anak dengan modal kompetensi masa depan, karena dia tidak hidup di zaman kita. Terbukalah dengan semua kondisi belajar, dengan begitu kita menjadi orangtua yang paham perkembangan zaman.
Nggak usah sawang sinawang, ya ibu-ibu. Jalani dengan bahagia pilihan masing-masing sesuai kondisi keluarga. Keputusan terbaik sudah diambil, bijak dalam menghadapi konsekuensinya.
Selamat memilih!