Jogja Getaway (2)
Hari ketiga, abis sarapan lanjut packingan karena mau check out. Bener-bener gak ada yang dilakuin selain leyeh-leyeh nonton tv di kamar sambil ngemil. Thanks God kamar segitu pecahnya tapi saya gak mesti beberes ^__^ Di dalem taksi ngobrol sama sopirnya, ditanya dari mana, mau ke mana, kok ga berwisata ke candi-candi, katanya candi Ratu Boko bagus...trus saya jawab enggak deh, takut hujan, anak saya juga takut sama patung-patung. Trus dia nanya lagi, "jadi besok ke Parangtritis nih? kan udah deket dari sini" Duh, bener juga si bapak...pengeeeen mantaaaii, tempat nginep yang selanjutnya ini lokasinya udah di jalan raya Parangtritis, tinggal lurus, kapan lagiii ketemu laut. Tapi mikir, besok pulang, kalo besok pagi ke pantai, kemungkinan besar baju kita basah, baju anak-anak apalagi, kalopun dijemur dari pagi, gak akan kering sebelum check out, wong hari sebelumnya celana yang kena ompol aja dijemurnya semaleman. Yuk mareee, gagal mantai karena rute yang acakadut.
Dari Pop hotel Sangaji naek taksi argo ke jalan Prawirotaman kena tarif 25rb. Ini murah, karena jaraknya lumayan jauh dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.
Omah Lawas homestay (@omahlawas)
Jl. Prawirotaman MG III / 649 Yogyakarta. Phone: (0274) 414122, +62 81802671100
Dari review yang saya baca, tempat ini homy banget gak seperti lagi numpang nginep. Ternyata bener sih, suasana rumahannya udah kerasa dari mulai masuk halaman rumah, sofa rotan plus meja dengan majalah-majalah di teras, masuk ke ruang tamu disambut sofa ukir besar dan lampu chandelier mewah, masuk lagi ke dalem, ada meja kerja besar yang berfungsi sebagai meja resepsionis dengan petugas yang ramah dan bersahabat. Melirik ke sebelah resepsionis, ada ruang keluarga dengan sofa empuk dan tv gede di mana (kayanya) anak-anak yang punya rumah lagi pada main PS di situ sambil lesehan gelar karpet dan bantal-bantal.
Bangunan rumah ini guedeeee banget, kalo ngebayangin rumah tradisional Joglo sih enggak, tapi bukan juga rumah modern. Mmmm, gimana ya...rumah mewah ala nenek-kakek gitu deh, tua tapi dirawat dengan amat baik oleh yang punya rumah (atau pembantu yang punya rumah), terlihat dari perabot-perabot klasik yang masih apik, lantai marmer, pijakan tangga lebar dengan pegangan besi gede-gede, chandelier yang menggantung di setiap ruangan, dan sofa-sofa besar buat bersantai keluarga. Di belakang rumah ada paviliun-paviliun kecil dan dapur tempat para petugas tinggal.
Kamarnya sendiri cuma ada lima, tiga di bawah, dua di atas. Saya kebagian kamar Janaka di lantai dua. Kamarnya luaasss, bahkan kepotong sama kasur yang besar pun space kosongnya masih lega. Kebayang ga ranjang tidur yang di papan bagian atas kepala masih ada radio, pemutar kaset pita dan speaker di kiri-kanan, itu model taun berapa ya? lawas banget pastinya, tapi kayu-kayunya masih kuat dan terawat, kasurnya juga empuk dan bersih, bantal-gulingnya juga wangii. Ada lemari baju gede yang satu set dengan meja rias yang kacanya bulat, oh wow...jadul visund. TV tersedia di kamar dan di ruang tengah, tapi bukan LCD tv modern kaya di hotel sih, channelnya pun lokal..tv di kamar ditaro di atas bufet kayu, di sebelahnya disediakan mineral water dua botol, cangkir dua biji, beberapa sachet kopi dan teh berikut gula+krimernya.
Kamar mandinya juga besar, lagi-lagi meski gak mewah, tapi fasilitas lengkap, ada wastafel dengan cermin dan tempat sikat gigi, gantungan jemuran, tisu roll, kloset duduk yang bersih, shower plus bath tub oval di sudut ruangan, lengkap dengan toilettriesnya. Gak apa-apa deh gak bisa ke pantai, at least bisa seneng-seneng sama anak-anak berendam berempat di bath tub hangat sambil main air.
Gue rasa pemilik rumah ini sudah memikirkan sedemikian rupa tata ruang, posisi kamar tidur dan kamar mandi, ventilasi dan pencahayaan sehingga semuanya tertata rapi dan apik. Di ruang tengah lantai atas juga ada dua set meja-kursi makan dan dua set sofa + tv. Dari balkon, bisa memandang halaman belakang yang hijau-hijau sambil intip homestay sebelah.
Nyampe kamar anak-anak langsung bergelimpangan guling-guling di kasur, di lantai, ngaca, trus bolak balik keluar kamar mencet-mencetin dispenser yang disediakan di beberapa sudut ruangan. Sesuai banget sama taglinenya, Singgah di Omah Lawas, serasa di Rumah Sendiri.
Bisa ditebak, abis cape-capean eksplor tempat baru, pada tidur siang lamaaa makinlah gak ada kesempatan buat jalan-jalan T___T emang harus ikhlas, beginilah kalo liburan sama anak, ganggu rutinitasnya juga kasian takut malah rungsing makin rewel. Sorenya abis pada jebur-jeburan mandi, jajan cemilan ke depan, nongkrong di taman sambil nunggu ayah pulang.
Menjelang malam, gorden-gorden udah ditutup, chandelier berkilauan ini ngasih cahaya kuning yang hangat dan temaram eerr tapi kok saya ngerasa agak keueung ya, aduh please terjemahkan keueung dalam bahasa Indonesia. Mungkin juga karena saat itu sepiiii banget, anak-anak nonton tv di kamar, saya jalan-jalan di ruang tengah tanpa arti, cuma ada dua kamar yang occupied, di bawah juga udah gak ada kegiatan yang punya rumah, cuma si resepsionis dan beberapa pelayan yang ngobrol. Sempet iseng browsing juga, jangan-jangan pernah ada traveler yang punya pengalaman horor di rumah ini atau di daerah sini, ternyata gak nemu satupun cerita gak ngenakin.
Setelah magrib ada rombongan keluarga yang baru dateng, nempatin kamar bawah. Baru deh kerasa rame, banyak suara ngobrol, denting piring sendok di ruang makan bawah juga bikin suasana mencair biasa lagi. Yah, mungkin bawaan rumah gede aja kali yah kalo orangnya dikit kerasa sepi...di mari rumahnya cuma seuprit siii jadi kesana-kesini mentok hehe.
Overall menyenangkan sih stay di sini, petugasnya helpful, fasilitas memadai dan semua berfungsi dengan baik, dijamin bersih trus nyaman. Mungkin cucoknya buat yang ada rencana ke Parangtritis atau Kotagede tapi gak mau terlalu jauh dari pusat kota. Sebenernya ke arah Parangtritis juga banyak penginapan-penginapan nyaman dengan harga murah, tapi ya menjauhi kota.
Oh ya, sarapan di sini bukan buffet, melainkan pilih dari menu yang tersedia. Ada nasi gudeg, nasi goreng dan roti bakar. Sudah plus teh atau kopi. Nggak istimewa sih, tapi buat ganjel perut mah lumayan aja.
Tips : jangan sungkan buat nanya apa boleh sarapan buat 3pax (kalo sama anak-anak), kayanya sih bisa...trus gak usah nyetok aqua botol buat di kamar karena dispenser tersedia di sudut-sudut rumah.
Makan malem terakhir di Jogja kita jalan kaki ke ViaVia Cafe, di Prawirotaman I. Sepanjang Prawirotaman I ini berjejer tempat nginep dan cafe-cafe bernuansa western, harga standar 300-400rb tapi cukup memadai buat istirahat atau naro ransel. Jalan Prawirotaman ini disebut international village karena banyak bule-bule yang pada stay di sini, entah alasannya apa (dekat pantai, mungkin?) jadi suasana sepanjang jalan ini kurang lebih mirip sama Kuta Bali.
ViaVia Traveler's Cafe (@ViaViaJogja)
Jl. Prawirotaman 30, Jogjakarta. Phone: +62 274 386557
Open every day 8.30 am - 11 pm
Tau ViaVia ini dari TUM, andalan banget deh cari info tempat asik buat keluarga. Trus pas browsing ternyata ViaVia Reiscafe ini mmm semacam jaringan cafe global yang lokasinya ada di beberapa negara di tiap benua, reiscafe sendiri bahasa Belanda artinya cafe jalan-jalan (atau kurang lebih itu) karena memang ide awalnya berasal dari para traveler Belgia yang mengkhawatirkan dampak turisme massal terhadap lingkungan dan terkikisnya budaya lokal. Mereka lalu mengembangkan konsep sebuah tempat dimana para traveler bisa ketemu satu sama lain untuk bertukar pengalaman, saling bercerita dan menggali informasi sambil menikmati sajian dan suasana lokal tergantung di mana ViaVia tsb berada. No such thing as junkfood. Setiap ViaVia menyajikan local delicacies yang bahan-bahannya diambil dari pertanian/peternakan lokal juga, jadi setiap traveler yang mampir akan punya pengalaman lokal yang bisa dishare sama traveler lain. Mbulet, ya gitu deh :D Saat ini ViaVia sudah ada di 4 benua. Di Asia baru ada di Chengdu, China dan Jogja, Indonesia. Kenapa Jogja, bukan Bali? di webnya dijawab "buka di Jogja saja sudah sulit" ya, ya, membaca aja aku sulit, apalagi buka cafe... :)))
Dengan tagline "ViaVia's are meeting places for world travelers. They are intersection between East and West, North and South", yang ada di bayangan saya tadinya semacam cafe-cafe ala Eropa yang berisi meja-meja panjang, botol-botol bir, riuh obrolan dan haha hihi para backpacker dari berbagai bangsa ngumpul di situ.
Sounds nice kalo buat nongkrong sendiri, tapi children friendly gak? karena ragu-ragu inilah akhirnya saya kontak twitter, nanya apakah boleh bawa toddler makan di tempat dan apa ambiancenya cukup friendly buat anak-anak, trus dijawab "of course you can bring toddler to dining in, you can bring his own meal but we also have kids menu". Oh, syukurlah..aman.
Tinggal jalan kaki 15 menit dari Prawirotaman III, ViaVia ini tempatnya friendly menyenangkan. Begitu masuk mau cari kursi di atas, dikasih tau waitressnya kalo di ruangan sebelah ada kids room dan no-smoking area. Wiihh, beneraaann...ada semacam playground kecil berkarpet, dindingnya digantung papan tulis beserta kapur warna-warni, ada box-box mainan binatang, masak-masakan, balok, trus kotak kecil berisi pensil warna dan spidol untuk menggambar atau mewarnai. Kertas coloringnya dikasih menyusul beserta list menu for kids, ada mashed potato with sausages and carrots, nasi goreng sayur, dan dua menu lainnya saya lupa. Price around 22-45rb.
Arraf sama Ali coba menu mashed potato with sausages, sementara saya pesen pasta penne saus jamur, ayah pesen nasi goreng seafood + sunny side egg...
Harga makan-minum berkisar antara 15-100rb, it's okay kalo mau bawa makan atau minum lain sendiri, gak dilarang dikeluarin kok. A lil bit pricey sih makan di sini tapi lumayan kok porsi besar dan rasa enak-enak aja pas lagi laper. Meskipun begitu, pulangnya saya tetep mampir ke bakso solo tenda ;p
Di sebelah area makan+main, ada deretan barang-barang handicraft yang dijual seperti sulaman, stuff daur ulang, tas-tas kain, kaos, rempah-rempah dan aromatic set. Semua ini diambil dari home industry lokal, jadi ViaVia itu selain jaringan cafe dan guesthouse, dia juga semacam pihak yang mengkampanyekan dan memberdayakan pengrajin lokal di daerah masing-masing. Di depannya ada rak-rak buku yang bisa dibaca, juga ada yang dijual. Ada buku resep masakan yang dijual di cafe ini, kapan-kapan deh bisa beli ol juga kok.
Recommended buat yang pengen punya pengalaman seru di Jogja, terutama karena gak bakal nemuin tempat kaya gini lagi di kota-kota lainnya di Indonesia :)
Tips : bring your own mineral water, biar masih bisa nongkrong meskipun makanan udah habis.
Oh iya satu lagi, bagi yang mau liat-liat dulu menunya bisa di download di sini.
Habis sarapan besok paginya, kita packing siap-siap pulang, ternyata oleh-oleh dari workshop ada satu ransel besar dan satu modul tebel yang artinya sekarang bawaan jadi ada tiga, pleus gak tau deh kok tiga-tiganya bisa penuh -___- baju cucian dan barang yang udah gak kepake dipack di satu ransel, dikirim via JNE dengan tarif 180rb aja doong untuk 7kg, aack sungguh muahaall....padahal ini minta diambil di JNE Malang bukan dianter ke rumah *bangkrut pagi-pagi*.
Ya bener kan kalo pagi ini kita ke Parangtritis, manalah mungkin bisa segera dipacking. Jam 10 baru checkout dari Omah Lawas menuju ke Keraton udah janjian sama salah satu abdi dalem disitu, tapi mendadak batal karena dia lagi ada acara akhirnya kita turun di Taman Sari / Water Castle / Istana Putri / Pemandian Putri Raja dengan gembolan masing-masing anak di depan, ransel di belakang.
Taman Sari ini dulunya adalah tempat peristirahatan dan pemandian para selir Raja. Singkat aja deh, lengkapnya bisa browsing kemudian, jadi yang selintas saya denger dari guide sebelah, baginda Raja Jogja biasa bersantai-santai di sini sambil memandangi selir-selirnya mandi di kolam yang katanya airnya harum kembang setaman, lalu Raja boleh memilih dengan siapa dia ingin beristirahat, selir yang terpilih, akan naik dari kolam menuju tempat berhias, jika sudah selesai, ia akan melambaikan tangannya ke jendela tanda ia siap, lalu pindah ke ruangan peristirahatan bersama sang Raja.
Agak enek memang dengernya, terutama kalo membayangkan perasaan Kanjeng Ratu di Istana, ah ya sutralah ya, Raja sekarang monogami kok *lhaaa, trus apa hubungannya?*
Pokoknya Taman Sari ini indah kok, bahkan sudah ratusan tahun lamanya, atmosfir kemewahan berendam di kolam bening dan wangi bunga masih bikin merinding. Dengan hawa panas Jogja yang menyengat, rasanya pengen nyebur aja gitu. Selain kolam-kolam juga ada mesjid di bawah tanah yang (katanya) baguuuss banget, sayang saya gak sempet nyusurin lebih lama lagi, udah keburu laper.
Ini pinjem dari Jogjes.com fotonya, biar ada gambaran...jepretan gue fotonya ga ada yang bener :|
Lalu kita ngebecak balik arah ke jalan Tirtodipuran, maksi di kedai bu Ageng, konon ini punyanya Butet Kertaredjasa. Menu di sini homemade traditional, masakannya semacam nasi rames, nasi campur, pecel, ayam panggang, bakwan jagung, telor gudeg, mendoan, ikan asin kapas, seperti yang ada di kebanyakan meja makan rumah lah.
Dari segi porsi besar dan mengenyangkan, rasa juga enak dan otentik cita rasa Jawa, kecuali satu, bubur durian, err...enak kok sebenernya kalo buat pecinta duren, rasanya lekoh duren banget. Berhubung saya anti-duren yah sesuap langsung mual, begitupun yang terjadi saat nyoba the famous pancake durian tempo hari sebelumnya. Emang ga bisa dipaksa sih ya...
Beres makan, pake becak yang sama menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, too baaaad, kita lupa kalo keraton cuma buka sampe jam 1, tadi kelamaan maksi, telat deh. Bengang-bengong, akhirnya pake becak lain keliling-keliling kompleks keraton yang katanya 4 hektaran itu (menurut mas becak). Mampir ke alun-alun yang ada pohon Beringin kembar, konon, hanya yang berhati bersihlah yang bisa melewati jalan di antara kedua pohon ini dengan lurus sambil mata tertutup. Kalo kata mas becaknya, perasaan kita jalan udah lurus padahal belok gak nyampe ke tengah-tengah pohon. Banyak orang nyoba disitu, sampe ada penyewaan penutup mata segala, beberapa ada yang emang belok, beberapa ada juga yang berhasil...ayah nyoba sekali belok, kedua kalinya lurus. Ya wallohua'lam deh beneran hatinya bersih atau pake feeling.
Abis dari alun-alun ke rumah mmm, apa yaa...semacam rumah peninggalan Sultan ke berapa gitu, yang dipergunakan sebagai tempat kerajinan batik. Lupa nama rumahnya, di foto juga gak ke captured (dan malas googling). Pokoknya di sini kita bisa liat proses pelukisan batik dari mulai dibuat pola, diwarnai, sampai dikeringkan.
Batik-batik yang dijual di sini juga gak ada yang murah, selembar ada yang ratusan ribu, bahkan yang udah jadi kemeja bisa sejuta. No wonder sih ya setelah liat cara pembuatannya gak mudah dan butuh ketelitian tinggi. Ibaratnya kita beli nilai, baik itu kreativitas maupun histori motif batik tsb, bukan semata-mata beli kain. Tapi di sini kita nggak belanja lah tentunya ya, numpang megang-megang aja sambil ngopi. Oh iya, di halamannya juga ada Kereta Kuda bersejarah yang konon ditawar miliaranpun, keraton nggak ngasih.
Keluar dari rumah batik agak sorean, gerimis mulai turun. Kita putusin buat langsung ke halte Transjogja terdekat aja mau ke Taman Pintar, eh ternyata rutenya agak muter jadi nyampe Taman Pintar jam 3-an, lagi-lagi gak jodoh. Akhirnya kita jalan kaki aja nyusurin sepanjang jalan situ, mampir ke Benteng Vraderburg, leyeh-leyeh lesehan di teras lebar, mengistirahatkan bahu dari ransel yang entah kenapa kok masih berat aja sambil numpang ngecas handphone. Anak-anak sih seneng aja lari-larian kesana kemari, gangguin pelancong lain, masuk-masuk ke ruangan museum sambil ribut. Di sini ada kedai kopi yang suasananya kolonial banget, Indische Koffie.
Kita berangkat lagi sekitar jam 5 sore, too early for dinner, akhirnya jalan kaki mau beli oleh-oleh bakpia pathuk buat di kantor ayah dan di rumah. Kalo hasil googling, ada 5 bakpia enak di Jogja ;
1. Bakpia Merlino, Jl. Pakuningratan (barat Dagadu)
2. Bakpia 75, Jl. KS. Tubun
3. Bakpia Bu Sri, Jl. KS. Tubun
4. Bakpia Kurnia Sari, Jl. Glagahsari
5. Bakpia 25, Jl. KS. Tubun (barat malioboro)
Lokasi terdekat adalah Bakpia 25 di jalan KS Tubun, liat di googlemaps sih gak gitu jauh tapi ya namapun jalan kaki, tetep aja pegel. Toko oleh-oleh ini emang padat pengunjung, tapi juga padat makanan enak-enak. Yang menggiurkan buat saya cuma bakpia dengan segala varian rasanya. Makanan lain seperti dodol/jenang, keripik, yaa..di Malang juga ada kan, sedangkan pia dan bakpia meskipun serupa tapi beda bentuk dan rasanya *iya gitu? sotoy aja gue..*
Harga bakpia 25 Rp.30rb (isi 20) dan 25rb (isi 15), kalo isian rasa ada kacang hijau, keju, coklat, dan aneka rasa/mix. Sempet ada tester bakpia fresh dari mbaknya, masih hangat dan legiiittt banget pas digigit.
Sesungguhnya memang berat menyusuri keramaian dengan luggage di bahu dan gendong anak, even sudah pake ransel gunung dan carrier oke demi kenyamanan, ya tetep aja nyampe titik lelah. Lupakan gaya turis ala Lisa Namuri dan bubye effort terlihat kece di foto-foto, a simple jeans, t-shirt and slipper is the comfort way. Kalaulah handsfree, baru bisa jeprat jepret, seringnya kita udah terlalu lelah buat ngeluarin kamera dari saku sekalipun. Mungkin saya akan mendengar beberapa saran dan pertanyaan, kenapa gak jalan-jalannya dari kemarin aja sik? atau mungkin tenyata ada loker penitipan di suatu tempat, entah malioboro atau stasiun yaitulah kita gak tau. Tapi kalo ditanya enjoy gak? ENJOY. Ciyus bukan pencitraan.
Tujuan terakhir sebelum pulang adalah Mirota Batik, di malioboro, seberangnya pasar Beringharjo. Femes banget ya tempat ini, katanya sih karena lengkap banget koleksi batiknya dan murah-murah. Iyakah?
Ada tiga lantai di Mirota Batik ini, lantai pertama isinya baju, kemeja, dress, kain, sarung, buat cewe, cowo, anak-anak, orang tua, ada semua. Lantai dua isinya barang-barang handicraft dan tradisional, dari gantungan kunci ampe centong nasi, saking banyaknya item di sini ampe pusing, skip sajalah. Lantai tiga sebenernya gak ada apa-apa, cuma toilet, mushola dan ruang pertunjukan yang sering dipake buat pementasan teater atau lakon drama.Malem itu juga lagi ada show, dari tampilan para pemainnya sih kayanya tokoh pewayangan gitu. Dari info mas-mas penjaga barang di bawah, kalo mau nonton bayar 50rb, kalo mau makan di sana nambah lagi bayarnya. Oh iya, pemilik Mirota Batik dan House of Raminten itu sama, yaitu sosok berkebaya yang mukanya ada di segala penjuru toko.
Random fact : kata ayah yang nyobain toilet di sini, agak seram karena airnya berubah warna! ahahaha, gak tau sih ya deskripsi akuratnya gimana, saya sendiri kan gak masuk ke toilet tapi katanya airnya asalnya warna putih kaya susu trus lama-lama jadi bening, saya bilang mungkin itu efek buih air aja yang terlalu deres tapi ayah sebagai penggemar kisah-kisah supranatural ya yakin aja kalo itu bukan efek buih. Belum lagi ada piring clay yang ditaroin kembang-kembangan menambah 'aroma' seram si toilet. Kira-kira, wajah bu Raminten ada juga gak ya di dalem toilet? kalo iya, buang air sambil diliatin si ibu kan agak merinding juga yak? hihi.
Cukup lama ngubek-ngubek lantai satu Mirota Batik ini, sayangnya terlalu crowded dengan banyaknya pengunjung dan display yang terlalu rapat, jadi kalo ada yang mau lewat di gang yang sama, yang satu mesti ngalah mundur keluar dulu. Sama pusingnya sih sebenernya di lantai manapun, apalagi pas disitu Arraf bobo digendong ayah, terpaksa mesti diem di satu tempat yang mana sebenernya ga ada tempat duduk-duduk jadi numpang ke tempat lipetin kain yang ada tulisan "dilarang duduk di sini". Sementara saya hilir mudik sambil gendong Ali yang gak mau diem pengen megang-megang baju tapi kalo diturunin pasti eksplor kesana kemari takut ilang.
Hasil 2 jam di Mirota? Nihil, ahahahaha. Karena akhirnya cuma fokus cari kemeja anak aja buat ke kondangan biar punya baju formal gitu. Dapet batik pelangi buat duo unyil yang stoknya tinggal dikit lagi. Buat emak dan bapaknya cari di tempat lain atau kapan-kapan aja karena mustahil keluar masuk fitting room saat-saat begini.
Pas keluar dari Mirota baru liat ada stand oleh-oleh, yang ternyata jual juga bakpia unyil Raminten, oalah ekspansinya sampe ke bakpia juga nih bu Raminten. Kenapa dinamain bakpia unyil karena emang bite size, isi 20 biji, ada rasa keju dan coklat. Harga 13rb per kotak. Nyobain beli dua kotak, plus permen jahe buat anget-angetan di kereta.
Keluar dari Mirota udah setengah 9, kayanya udah aja deh jalan-jalannya, tinggal beli makan malem aja buat dimakan di kereta. Dari sini kita split, ayah sama kakak beli gudeg sementara saya sama Ali ke mal Malioboro mau ganti popok dan ke toilet. Meeting point di HokBen dalem mal, bungkus bento buat anak-anak sambil duduk-duduk bentar minum ocha dan ngemil katsu.
Dari malioboro, rasanya udah eneg nawar-nawar becak, kita nekatin buat jalan kaki aja sampe stasiun, gak terlalu jauh emang, cuma berat aja :p *keluhannya gak berubah*. Rasanya legaaaa banget bisa duduk nyaman kembali di Malioboro Ekspres, makan, kemudian tidur sampe pagi.
Kapan-kapan mau deh ke Jogja lagi, tentunya dengan itinerary yang lebih teratur. Kalo anak-anak udah gede mah gak akan minta digendong kali yaaah...
Dari Pop hotel Sangaji naek taksi argo ke jalan Prawirotaman kena tarif 25rb. Ini murah, karena jaraknya lumayan jauh dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.
Omah Lawas homestay (@omahlawas)
Jl. Prawirotaman MG III / 649 Yogyakarta. Phone: (0274) 414122, +62 81802671100
Dari review yang saya baca, tempat ini homy banget gak seperti lagi numpang nginep. Ternyata bener sih, suasana rumahannya udah kerasa dari mulai masuk halaman rumah, sofa rotan plus meja dengan majalah-majalah di teras, masuk ke ruang tamu disambut sofa ukir besar dan lampu chandelier mewah, masuk lagi ke dalem, ada meja kerja besar yang berfungsi sebagai meja resepsionis dengan petugas yang ramah dan bersahabat. Melirik ke sebelah resepsionis, ada ruang keluarga dengan sofa empuk dan tv gede di mana (kayanya) anak-anak yang punya rumah lagi pada main PS di situ sambil lesehan gelar karpet dan bantal-bantal.
Bangunan rumah ini guedeeee banget, kalo ngebayangin rumah tradisional Joglo sih enggak, tapi bukan juga rumah modern. Mmmm, gimana ya...rumah mewah ala nenek-kakek gitu deh, tua tapi dirawat dengan amat baik oleh yang punya rumah (atau pembantu yang punya rumah), terlihat dari perabot-perabot klasik yang masih apik, lantai marmer, pijakan tangga lebar dengan pegangan besi gede-gede, chandelier yang menggantung di setiap ruangan, dan sofa-sofa besar buat bersantai keluarga. Di belakang rumah ada paviliun-paviliun kecil dan dapur tempat para petugas tinggal.
Kamarnya sendiri cuma ada lima, tiga di bawah, dua di atas. Saya kebagian kamar Janaka di lantai dua. Kamarnya luaasss, bahkan kepotong sama kasur yang besar pun space kosongnya masih lega. Kebayang ga ranjang tidur yang di papan bagian atas kepala masih ada radio, pemutar kaset pita dan speaker di kiri-kanan, itu model taun berapa ya? lawas banget pastinya, tapi kayu-kayunya masih kuat dan terawat, kasurnya juga empuk dan bersih, bantal-gulingnya juga wangii. Ada lemari baju gede yang satu set dengan meja rias yang kacanya bulat, oh wow...jadul visund. TV tersedia di kamar dan di ruang tengah, tapi bukan LCD tv modern kaya di hotel sih, channelnya pun lokal..tv di kamar ditaro di atas bufet kayu, di sebelahnya disediakan mineral water dua botol, cangkir dua biji, beberapa sachet kopi dan teh berikut gula+krimernya.
Ini Janaka Room, rate 350rb/night |
Gue rasa pemilik rumah ini sudah memikirkan sedemikian rupa tata ruang, posisi kamar tidur dan kamar mandi, ventilasi dan pencahayaan sehingga semuanya tertata rapi dan apik. Di ruang tengah lantai atas juga ada dua set meja-kursi makan dan dua set sofa + tv. Dari balkon, bisa memandang halaman belakang yang hijau-hijau sambil intip homestay sebelah.
Nyampe kamar anak-anak langsung bergelimpangan guling-guling di kasur, di lantai, ngaca, trus bolak balik keluar kamar mencet-mencetin dispenser yang disediakan di beberapa sudut ruangan. Sesuai banget sama taglinenya, Singgah di Omah Lawas, serasa di Rumah Sendiri.
Bisa ditebak, abis cape-capean eksplor tempat baru, pada tidur siang lamaaa makinlah gak ada kesempatan buat jalan-jalan T___T emang harus ikhlas, beginilah kalo liburan sama anak, ganggu rutinitasnya juga kasian takut malah rungsing makin rewel. Sorenya abis pada jebur-jeburan mandi, jajan cemilan ke depan, nongkrong di taman sambil nunggu ayah pulang.
ini view taman belakang dari balkon atas |
Setelah magrib ada rombongan keluarga yang baru dateng, nempatin kamar bawah. Baru deh kerasa rame, banyak suara ngobrol, denting piring sendok di ruang makan bawah juga bikin suasana mencair biasa lagi. Yah, mungkin bawaan rumah gede aja kali yah kalo orangnya dikit kerasa sepi...di mari rumahnya cuma seuprit siii jadi kesana-kesini mentok hehe.
Overall menyenangkan sih stay di sini, petugasnya helpful, fasilitas memadai dan semua berfungsi dengan baik, dijamin bersih trus nyaman. Mungkin cucoknya buat yang ada rencana ke Parangtritis atau Kotagede tapi gak mau terlalu jauh dari pusat kota. Sebenernya ke arah Parangtritis juga banyak penginapan-penginapan nyaman dengan harga murah, tapi ya menjauhi kota.
Oh ya, sarapan di sini bukan buffet, melainkan pilih dari menu yang tersedia. Ada nasi gudeg, nasi goreng dan roti bakar. Sudah plus teh atau kopi. Nggak istimewa sih, tapi buat ganjel perut mah lumayan aja.
Tips : jangan sungkan buat nanya apa boleh sarapan buat 3pax (kalo sama anak-anak), kayanya sih bisa...trus gak usah nyetok aqua botol buat di kamar karena dispenser tersedia di sudut-sudut rumah.
Makan malem terakhir di Jogja kita jalan kaki ke ViaVia Cafe, di Prawirotaman I. Sepanjang Prawirotaman I ini berjejer tempat nginep dan cafe-cafe bernuansa western, harga standar 300-400rb tapi cukup memadai buat istirahat atau naro ransel. Jalan Prawirotaman ini disebut international village karena banyak bule-bule yang pada stay di sini, entah alasannya apa (dekat pantai, mungkin?) jadi suasana sepanjang jalan ini kurang lebih mirip sama Kuta Bali.
ViaVia Traveler's Cafe (@ViaViaJogja)
Jl. Prawirotaman 30, Jogjakarta. Phone: +62 274 386557
Open every day 8.30 am - 11 pm
Tau ViaVia ini dari TUM, andalan banget deh cari info tempat asik buat keluarga. Trus pas browsing ternyata ViaVia Reiscafe ini mmm semacam jaringan cafe global yang lokasinya ada di beberapa negara di tiap benua, reiscafe sendiri bahasa Belanda artinya cafe jalan-jalan (atau kurang lebih itu) karena memang ide awalnya berasal dari para traveler Belgia yang mengkhawatirkan dampak turisme massal terhadap lingkungan dan terkikisnya budaya lokal. Mereka lalu mengembangkan konsep sebuah tempat dimana para traveler bisa ketemu satu sama lain untuk bertukar pengalaman, saling bercerita dan menggali informasi sambil menikmati sajian dan suasana lokal tergantung di mana ViaVia tsb berada. No such thing as junkfood. Setiap ViaVia menyajikan local delicacies yang bahan-bahannya diambil dari pertanian/peternakan lokal juga, jadi setiap traveler yang mampir akan punya pengalaman lokal yang bisa dishare sama traveler lain. Mbulet, ya gitu deh :D Saat ini ViaVia sudah ada di 4 benua. Di Asia baru ada di Chengdu, China dan Jogja, Indonesia. Kenapa Jogja, bukan Bali? di webnya dijawab "buka di Jogja saja sudah sulit" ya, ya, membaca aja aku sulit, apalagi buka cafe... :)))
Dengan tagline "ViaVia's are meeting places for world travelers. They are intersection between East and West, North and South", yang ada di bayangan saya tadinya semacam cafe-cafe ala Eropa yang berisi meja-meja panjang, botol-botol bir, riuh obrolan dan haha hihi para backpacker dari berbagai bangsa ngumpul di situ.
Sounds nice kalo buat nongkrong sendiri, tapi children friendly gak? karena ragu-ragu inilah akhirnya saya kontak twitter, nanya apakah boleh bawa toddler makan di tempat dan apa ambiancenya cukup friendly buat anak-anak, trus dijawab "of course you can bring toddler to dining in, you can bring his own meal but we also have kids menu". Oh, syukurlah..aman.
Tinggal jalan kaki 15 menit dari Prawirotaman III, ViaVia ini tempatnya friendly menyenangkan. Begitu masuk mau cari kursi di atas, dikasih tau waitressnya kalo di ruangan sebelah ada kids room dan no-smoking area. Wiihh, beneraaann...ada semacam playground kecil berkarpet, dindingnya digantung papan tulis beserta kapur warna-warni, ada box-box mainan binatang, masak-masakan, balok, trus kotak kecil berisi pensil warna dan spidol untuk menggambar atau mewarnai. Kertas coloringnya dikasih menyusul beserta list menu for kids, ada mashed potato with sausages and carrots, nasi goreng sayur, dan dua menu lainnya saya lupa. Price around 22-45rb.
play area |
coloring (emaknya) |
porsi paling besar punya saya |
Di sebelah area makan+main, ada deretan barang-barang handicraft yang dijual seperti sulaman, stuff daur ulang, tas-tas kain, kaos, rempah-rempah dan aromatic set. Semua ini diambil dari home industry lokal, jadi ViaVia itu selain jaringan cafe dan guesthouse, dia juga semacam pihak yang mengkampanyekan dan memberdayakan pengrajin lokal di daerah masing-masing. Di depannya ada rak-rak buku yang bisa dibaca, juga ada yang dijual. Ada buku resep masakan yang dijual di cafe ini, kapan-kapan deh bisa beli ol juga kok.
Recommended buat yang pengen punya pengalaman seru di Jogja, terutama karena gak bakal nemuin tempat kaya gini lagi di kota-kota lainnya di Indonesia :)
Tips : bring your own mineral water, biar masih bisa nongkrong meskipun makanan udah habis.
Oh iya satu lagi, bagi yang mau liat-liat dulu menunya bisa di download di sini.
Habis sarapan besok paginya, kita packing siap-siap pulang, ternyata oleh-oleh dari workshop ada satu ransel besar dan satu modul tebel yang artinya sekarang bawaan jadi ada tiga, pleus gak tau deh kok tiga-tiganya bisa penuh -___- baju cucian dan barang yang udah gak kepake dipack di satu ransel, dikirim via JNE dengan tarif 180rb aja doong untuk 7kg, aack sungguh muahaall....padahal ini minta diambil di JNE Malang bukan dianter ke rumah *bangkrut pagi-pagi*.
Ya bener kan kalo pagi ini kita ke Parangtritis, manalah mungkin bisa segera dipacking. Jam 10 baru checkout dari Omah Lawas menuju ke Keraton udah janjian sama salah satu abdi dalem disitu, tapi mendadak batal karena dia lagi ada acara akhirnya kita turun di Taman Sari / Water Castle / Istana Putri / Pemandian Putri Raja dengan gembolan masing-masing anak di depan, ransel di belakang.
Taman Sari ini dulunya adalah tempat peristirahatan dan pemandian para selir Raja. Singkat aja deh, lengkapnya bisa browsing kemudian, jadi yang selintas saya denger dari guide sebelah, baginda Raja Jogja biasa bersantai-santai di sini sambil memandangi selir-selirnya mandi di kolam yang katanya airnya harum kembang setaman, lalu Raja boleh memilih dengan siapa dia ingin beristirahat, selir yang terpilih, akan naik dari kolam menuju tempat berhias, jika sudah selesai, ia akan melambaikan tangannya ke jendela tanda ia siap, lalu pindah ke ruangan peristirahatan bersama sang Raja.
Agak enek memang dengernya, terutama kalo membayangkan perasaan Kanjeng Ratu di Istana, ah ya sutralah ya, Raja sekarang monogami kok *lhaaa, trus apa hubungannya?*
Pokoknya Taman Sari ini indah kok, bahkan sudah ratusan tahun lamanya, atmosfir kemewahan berendam di kolam bening dan wangi bunga masih bikin merinding. Dengan hawa panas Jogja yang menyengat, rasanya pengen nyebur aja gitu. Selain kolam-kolam juga ada mesjid di bawah tanah yang (katanya) baguuuss banget, sayang saya gak sempet nyusurin lebih lama lagi, udah keburu laper.
Ini pinjem dari Jogjes.com fotonya, biar ada gambaran...jepretan gue fotonya ga ada yang bener :|
Lalu kita ngebecak balik arah ke jalan Tirtodipuran, maksi di kedai bu Ageng, konon ini punyanya Butet Kertaredjasa. Menu di sini homemade traditional, masakannya semacam nasi rames, nasi campur, pecel, ayam panggang, bakwan jagung, telor gudeg, mendoan, ikan asin kapas, seperti yang ada di kebanyakan meja makan rumah lah.
menunya saya zoom deh |
nasi campur ayam suwir |
bubur durian lekoh |
Abis dari alun-alun ke rumah mmm, apa yaa...semacam rumah peninggalan Sultan ke berapa gitu, yang dipergunakan sebagai tempat kerajinan batik. Lupa nama rumahnya, di foto juga gak ke captured (dan malas googling). Pokoknya di sini kita bisa liat proses pelukisan batik dari mulai dibuat pola, diwarnai, sampai dikeringkan.
lumayan lah tiga jam dapet selembar batik |
Keluar dari rumah batik agak sorean, gerimis mulai turun. Kita putusin buat langsung ke halte Transjogja terdekat aja mau ke Taman Pintar, eh ternyata rutenya agak muter jadi nyampe Taman Pintar jam 3-an, lagi-lagi gak jodoh. Akhirnya kita jalan kaki aja nyusurin sepanjang jalan situ, mampir ke Benteng Vraderburg, leyeh-leyeh lesehan di teras lebar, mengistirahatkan bahu dari ransel yang entah kenapa kok masih berat aja sambil numpang ngecas handphone. Anak-anak sih seneng aja lari-larian kesana kemari, gangguin pelancong lain, masuk-masuk ke ruangan museum sambil ribut. Di sini ada kedai kopi yang suasananya kolonial banget, Indische Koffie.
Add caption |
1. Bakpia Merlino, Jl. Pakuningratan (barat Dagadu)
2. Bakpia 75, Jl. KS. Tubun
3. Bakpia Bu Sri, Jl. KS. Tubun
4. Bakpia Kurnia Sari, Jl. Glagahsari
5. Bakpia 25, Jl. KS. Tubun (barat malioboro)
Lokasi terdekat adalah Bakpia 25 di jalan KS Tubun, liat di googlemaps sih gak gitu jauh tapi ya namapun jalan kaki, tetep aja pegel. Toko oleh-oleh ini emang padat pengunjung, tapi juga padat makanan enak-enak. Yang menggiurkan buat saya cuma bakpia dengan segala varian rasanya. Makanan lain seperti dodol/jenang, keripik, yaa..di Malang juga ada kan, sedangkan pia dan bakpia meskipun serupa tapi beda bentuk dan rasanya *iya gitu? sotoy aja gue..*
Harga bakpia 25 Rp.30rb (isi 20) dan 25rb (isi 15), kalo isian rasa ada kacang hijau, keju, coklat, dan aneka rasa/mix. Sempet ada tester bakpia fresh dari mbaknya, masih hangat dan legiiittt banget pas digigit.
Sesungguhnya memang berat menyusuri keramaian dengan luggage di bahu dan gendong anak, even sudah pake ransel gunung dan carrier oke demi kenyamanan, ya tetep aja nyampe titik lelah. Lupakan gaya turis ala Lisa Namuri dan bubye effort terlihat kece di foto-foto, a simple jeans, t-shirt and slipper is the comfort way. Kalaulah handsfree, baru bisa jeprat jepret, seringnya kita udah terlalu lelah buat ngeluarin kamera dari saku sekalipun. Mungkin saya akan mendengar beberapa saran dan pertanyaan, kenapa gak jalan-jalannya dari kemarin aja sik? atau mungkin tenyata ada loker penitipan di suatu tempat, entah malioboro atau stasiun yaitulah kita gak tau. Tapi kalo ditanya enjoy gak? ENJOY. Ciyus bukan pencitraan.
Tujuan terakhir sebelum pulang adalah Mirota Batik, di malioboro, seberangnya pasar Beringharjo. Femes banget ya tempat ini, katanya sih karena lengkap banget koleksi batiknya dan murah-murah. Iyakah?
Ada tiga lantai di Mirota Batik ini, lantai pertama isinya baju, kemeja, dress, kain, sarung, buat cewe, cowo, anak-anak, orang tua, ada semua. Lantai dua isinya barang-barang handicraft dan tradisional, dari gantungan kunci ampe centong nasi, saking banyaknya item di sini ampe pusing, skip sajalah. Lantai tiga sebenernya gak ada apa-apa, cuma toilet, mushola dan ruang pertunjukan yang sering dipake buat pementasan teater atau lakon drama.Malem itu juga lagi ada show, dari tampilan para pemainnya sih kayanya tokoh pewayangan gitu. Dari info mas-mas penjaga barang di bawah, kalo mau nonton bayar 50rb, kalo mau makan di sana nambah lagi bayarnya. Oh iya, pemilik Mirota Batik dan House of Raminten itu sama, yaitu sosok berkebaya yang mukanya ada di segala penjuru toko.
Random fact : kata ayah yang nyobain toilet di sini, agak seram karena airnya berubah warna! ahahaha, gak tau sih ya deskripsi akuratnya gimana, saya sendiri kan gak masuk ke toilet tapi katanya airnya asalnya warna putih kaya susu trus lama-lama jadi bening, saya bilang mungkin itu efek buih air aja yang terlalu deres tapi ayah sebagai penggemar kisah-kisah supranatural ya yakin aja kalo itu bukan efek buih. Belum lagi ada piring clay yang ditaroin kembang-kembangan menambah 'aroma' seram si toilet. Kira-kira, wajah bu Raminten ada juga gak ya di dalem toilet? kalo iya, buang air sambil diliatin si ibu kan agak merinding juga yak? hihi.
Cukup lama ngubek-ngubek lantai satu Mirota Batik ini, sayangnya terlalu crowded dengan banyaknya pengunjung dan display yang terlalu rapat, jadi kalo ada yang mau lewat di gang yang sama, yang satu mesti ngalah mundur keluar dulu. Sama pusingnya sih sebenernya di lantai manapun, apalagi pas disitu Arraf bobo digendong ayah, terpaksa mesti diem di satu tempat yang mana sebenernya ga ada tempat duduk-duduk jadi numpang ke tempat lipetin kain yang ada tulisan "dilarang duduk di sini". Sementara saya hilir mudik sambil gendong Ali yang gak mau diem pengen megang-megang baju tapi kalo diturunin pasti eksplor kesana kemari takut ilang.
Hasil 2 jam di Mirota? Nihil, ahahahaha. Karena akhirnya cuma fokus cari kemeja anak aja buat ke kondangan biar punya baju formal gitu. Dapet batik pelangi buat duo unyil yang stoknya tinggal dikit lagi. Buat emak dan bapaknya cari di tempat lain atau kapan-kapan aja karena mustahil keluar masuk fitting room saat-saat begini.
Pas keluar dari Mirota baru liat ada stand oleh-oleh, yang ternyata jual juga bakpia unyil Raminten, oalah ekspansinya sampe ke bakpia juga nih bu Raminten. Kenapa dinamain bakpia unyil karena emang bite size, isi 20 biji, ada rasa keju dan coklat. Harga 13rb per kotak. Nyobain beli dua kotak, plus permen jahe buat anget-angetan di kereta.
Keluar dari Mirota udah setengah 9, kayanya udah aja deh jalan-jalannya, tinggal beli makan malem aja buat dimakan di kereta. Dari sini kita split, ayah sama kakak beli gudeg sementara saya sama Ali ke mal Malioboro mau ganti popok dan ke toilet. Meeting point di HokBen dalem mal, bungkus bento buat anak-anak sambil duduk-duduk bentar minum ocha dan ngemil katsu.
Dari malioboro, rasanya udah eneg nawar-nawar becak, kita nekatin buat jalan kaki aja sampe stasiun, gak terlalu jauh emang, cuma berat aja :p *keluhannya gak berubah*. Rasanya legaaaa banget bisa duduk nyaman kembali di Malioboro Ekspres, makan, kemudian tidur sampe pagi.
Kapan-kapan mau deh ke Jogja lagi, tentunya dengan itinerary yang lebih teratur. Kalo anak-anak udah gede mah gak akan minta digendong kali yaaah...